Selasa, 10 Mei 2011

TIDAK BERARTI MENGAGAMAKAN PANCASILA

Kukuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan berkat dan rahmat Tuhan Yang Mahakuasa bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan menjadi dasar dilaksanakannya pembangunan di segala bidang.
Sekalipun seluruh rakyat dan penyelenggara negara serta segenap potensi bangsa telah berusaha menegakkan dan melestarikan Negara Kesatuan Republik Indonesia, namun masih ada ancaman, hambatan, dan gangguan terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemajemukan yang rentan konflik, otonomi daerah yang belum terwujud, kebijakan yang terpusat, otoriter, serta tindakan ketidakadilan pemerintah yang dipicu oleh hasutan serta pengaruh gejolak politik internasional dapat mendorong terjadinya disintegrasi bangsa.
Penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi Pancasila dan mekanisme Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan ketidakseimbangan kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara dan makin jauh dari cita demokrasi dan kemerdekaan yang ditandai dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang bercorak absolut karena wewenang dan kekuasaan Presiden berlebihan yang melahirkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme sehingga terjadi krisis multidimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan.
Ketidakpekaan penyelenggara negara terhadap kondisi dan situasi tersebut telah membangkitkan gerakan reformasi di seluruh tanah air yang ditandai dengan tumbangnya rezim otoriter. Gerakan reformasi telah mendorong secara relatif terjadinya kemajuan-kemajuan di bidang politik, usaha penegakan kedaulatan rakyat, peningkatan peran masyarakat disertai dengan pengurangan dominasi peran pemerintah dalam kehidupan politik, antara lain dengan terselenggaranya Sidang Istimewa MPR 1998; Pemilu 1999 yang diikuti banyak partai, netralitas pegawai negeri, serta TNI dan Polri; peningkatan partisipasi politik, pers yang bebas serta Sidang Umum MPR 1999. Namun, perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terpenuhi.
Konflik sosial dan menguatnya gejala disintegrasi di berbagai daerah seperti di Maluku merupakan gangguan bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kalau tidak segera ditanggulangi akan dapat mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya hal-hal tersebut lebih merupakan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang perlu segera dikoreksi dengan cepat dan tepat.
Di bidang hukum terjadi perkembangan yang kontroversial, disatu pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Namun, di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan serta tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum dapat diwujudkan.
Tekad untuk memberantas segala bentuk penyelewengan sesuai tuntutan reformasi seperti korupsi, kolusi, nepotisme, serta kejahatan ekonomi keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan belum diikuti langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum, terjadinya campur tangan dalam proses peradilan, serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum.
Kondisi hukum yang demikian mengakibatkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia masih memprihatinkan yang terlihat dari berbagai pelanggaran hak asasi manusia, antara lain dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi, dan kesewenang-wenangan.
Pembangunan di bidang pertahanan keamanan telah menunjukkan kemajuan meskipun masih mengandung kelemahan. Kepercayaan masyarakat terhadap aparatur TNI dan Polri melemah, antara lain, karena digunakan sebagai alat kekuasaan; rasa aman dan ketenteraman masyarakat berkurang; meningkatnya gangguan keamanan dan ketertiban; terjadinya kerusuhan massal dan berbagai pelanggaran hukum serta pelanggaran hak asasi manusia.
Upaya mengatasi krisis ekonomi beserta dampak yang ditimbulkannya telah dilakukan melalui proses reformasi di bidang ekonomi, tetapi hasilnya belum memadai karena (1) penyelenggaraan negara di bidang ekonomi selama ini dilakukan atas dasar kekuasaan yang terpusat dengan campur tangan pemerintah yang terlalu besar, sehingga kedaulatan ekonomi tidak berada di tangan rakyat dan mekanisme pasar tidak berfungsi secara efektif; dan (2) kesenjangan ekonomi yang meliputi kesenjangan antara pusat dan daerah, antardaerah, antarpelaku, dan antargolongan pendapatan, telah meluas ke seluruh aspek kehidupan sehingga struktur ekonomi tidak kuat yang ditandai dengan berkembangnya monopoli serta pemusatan kekuatan ekonomi di tangan sekelompok kecil masyarakat dan daerah tertentu.
Pengangguran makin meningkat dan meluas, hak dan perlindungan tenaga kerja belum terwujud, jumlah penduduk miskin semakin membengkak, dan derajat kesehatan masyarakat juga menurun drastis. Gejala itu bahkan menguat dengan terdapatnya indikasi kasus-kasus kurang gizi di kalangan kelompok penduduk usia bawah lima tahun, yang dapat mengakibatkan timbulnya generasi yang kualitas fisik dan inteleknya rendah.
Konsep pembangunan berkelanjutan telah diletakkan sebagai kebijaksanaan. Namun, didalam pengalaman praktik selama ini, justru terjadi pengolahan sumber daya alam yang tidak terkendali dengan akibat kerusakan lingkungan yang mengganggu kelestarian alam.
Di bidang pendidikan masalah yang dihadapi adalah berlangsungnya pendidikan yang kurang bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik, yang berakibat hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan. Mata pelajaran yang berorientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengamalan untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari. Karenanya masyarakat cenderung tidak memiliki kepekaan yang cukup untuk membangun toleransi, kebersamaan, khususnya dengan menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk.
Pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi belum dimanfaatkan secara berarti dalam kegiatan ekonomi, sosial dan budaya, sehingga belum memperkuat kemampuan Indonesia dalam menghadapi kerjasama dan persaingan global.
Kehidupan beragama belum memberikan jaminan akan peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat. Merebaknya penyakit sosial, korupsi dan sejenisnya, kriminalitas, pemakaian obat terlarang, perilaku menyimpang yang melanggar moralitas, etika dan kepatutan, memberikan gambaran terjadinya kesenjangan antara perilaku formal kehidupan keagamaan dengan perilaku realitas nyata kehidupan keseharian.
Status dan peranan perempuan dalam masyarakat masih bersifat subordinatif dan belum sebagai mitra sejajar dengan laki-laki, yang tercermin pada sedikitnya jumlah perempuan yang menempati posisi penting dalam pemerintahan, dalam badan legislatif dan yudikatif, serta dalam masyarakat.
Penurunan peranan dan kualitas diri terjadi juga di kalangan generasi muda. Kreativitas, kemauan, dan kemampuan mengembangkan pemikiran dan melakukan kegiatan eksploratif, melakukan aksi sosial untuk berani coba-ralat pada generasi muda mengalami hambatan sehingga pada akhirnya menghambat proses kaderisasi bangsa.
Luasnya ruang lingkup pembangunan daerah terutama dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah belum didukung oleh kesiapan dan kemampuan sumber daya manusia dan aparatur pemerintah daerah yang memadai serta belum adanya perangkat peraturan bagi pengelolaan sumber daya alam di daerah.
Pelaksanaan politik luar negeri yang lemah, antara lain karena tingginya ketergantungan pada utang luar negeri mengakibatkan turunnya posisi-tawar Indonesia dalam percaturan internasional.
Keseluruhan gambaran tersebut menunjukkan kecenderungan menurunnya kualitas kehidupan dan jati diri bangsa. Kondisi itu menuntut bangsa Indonesia, terutama penyelenggara negara, para elite politik dan pemuka masyarakat, agar bersatu dan bekerja keras melaksanakan reformasi dalam segala bidang kehidupan untuk meningkatkan harkat, martabat, dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar